Bulan puasa biasanya selalu diwarnai dengan wacana bukber sekaligus reuni, dan tak jarang disusupi ajang pamer pencapaian hidup masing-masing. Ajang pemer terselubung inilah yang barangkali menjadi salah satu alasan mengapa banyak dari kita yang terkadang memilih absen untuk datang ke acara semacam ini.
Kesuksesan dan pencapaian hidup yang sudah diraih teman-teman kita terkadang memang membuat kita silau dan merasa rendah diri. Merasa bukan siapa-siapa dan belum menjadi apa-apa adalah penyakit kita ketika melihat betapa gemerlap dan cemerlangnya kehidupan mereka, terutama yang nampak dalam sosial media mereka.
Sore itu tepat hari ke 28 Ramadan tahun 1940 H lalu, kami menyempatkan waktu untuk sekedar melepas rindu dan berbuka bersama. Tak banyak yang datang memang, hanya sekitar 12 orang yang hadir. Seperti biasa awal perjumpaan selalu dibuka dengan pertanyaan standard seperti gimana kabarnya? Sibuk apa sekarang? Dimana sekarang, koh jarang kelihatan?
Berlanjut dengan pertanyaan mendetail yang lebih menggangu, seperti udah kerja jadi apa sekarang? Dimana kerjanya? Jomblo terus, kapan rencana nikah? Udah punya anak berapa? Sekarang koh tambah gendut si? Udah 6 tahun kuliah, kapan wisudanya? dan pertanyaan-pertanyaan sejenisnya.
Mungkin pertanyaan semacam ini sudah sangat sering kita dengar atau tanyakan, tapi bagi orang yang ditanyai bisa jadi pertanyaan ini membuat dia menjadi tidak nyaman dan tersinggung. Saya merasakan sendiri betapa pertanyaan yang semacam ini dapat menjadi pancingan untuk membully atau “merendahkan” kita.
Saya masih ingat betul salah satu teman saya bertanya, kamu posisinya jadi apa disana? Store manager, saya menjawabnya singkat. Tanpa komando teman saya yang lain langsung menyerobot percapakan kami, “halah, ndak usah sok-sokan pakai bahasa yang keren. Store manager segala, gajinya kecil”. Sontak membuat saya mematung sekejap, dengan nada lirik saya menjawab “iya si emang kecil gajinya”.
Saya jadi ingat 5 bulan sebelumnya saat saya masih bekerja menjadi staff admin di sebuah developer properti, dia pernah menyampaikan aspirasinya ke saya kalau pekerjaan saya saat itu kurang pas karena gajinya yang hanya 1.500.000 jauh di bawah UMR kota tempat saya bekerja saat itu. Dia bahkan sempat memberi wejangan supaya saya jangan mau ditipu oleh pimpinan karena memanfaatkan tenaga kerja yang berkualitas dengan gaji yang murah.
Tidak cukup saya yang menjadi sasaran, salah satu teman kami yang kebetulan masih proses penyelesaian skripsi juga turut menjadi korban. Tidak hanya sekali dia membully masalah skripsi yang tak kunjung usai, banyak dari pertanyaan dan bercandaan dia yang menurut saya masuk dalam kategori bullying.
Beruntung teman saya ini menanggapinya dengan santai, barangkali dia sudah kebal dengan pertanyaan seputar skripsi dan wisuda. Kita tak pernah tahu, terkadang satu atau dua kalimat bercandaan justru menyinggung perasaannya dan membuatnya menjadi tidak nyaman.
Fenomena bullying nampaknya tengah marak saat ini, dengan santainya orang-orang di sekitar kita menjadikan kita bahan bercandaan yang kebablasan. Masalah seputar jomblo, jodoh, kerjaan, wisuda kerap kali menjadi topik renyah berujung bullying. Parahnya lagi, si pelaku terkadang tak menyadari bahwa perkataannya atau tindakannya termasuk dalam kategori bullying.
Sering kali pelaku bully berdalih bahwa tujuannya hanya membuat lelucon biar suasana menjadi lebih hangat dan ramai. Ajaibnya lagi banyak pelaku justru menamakan diri sebagai pahlawan dan motivator bagi si korban, katanya agar menjadi lebih termotivasi dan bangkit dari keadaannya yang sekarang.
Saya merasa kasian dengan orang-orang yang membuat lelucon tentang kondisi kehidupan pribadi orang lain, apalagi objek guyon ini sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
Saya khawatir jangan-jangan pelaku pembuat guyon ini sedang dalam kondisi terlampau percaya diri hingga mudahnya meremehkan orang lain.
Dia lupa bahwa di atas langit masih ada Rafi Ahmad dan Hotman Paris. Atau lebih parahnya lagi dia sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri hingga lupa untuk menjaga perasaan orang lain, padahal itu amat penting.
Lain cerita dengan orang yang menamakan dirinya sebagai pahlawan atau motivator, saya merasa orang-orang semacam ini perlu diberi kelas khusus oleh para psikolog atau psikiater sebelum kegilaannya bertambah parah. Bagaimana bisa bullying dinamakan sebagai motivasi untuk bangkit, memberi semangat dan support kepada rekan yang sedang dalam keadaan yang kurang beruntung bukan dengan lelucon berujung bullying, bung.
Ada milyaran kata yang tercipta di dunia ini, tidakkah sanggup kita memilih beberapa kata saja dan merangkainnya menjadi kalimat yang lebih bermanfaat bagi mereka?
Terkadang kita lupa untuk berfikir apakah tepat pertanyaan dan lelucon yang kita ucapkan saat itu? kita tak pernah berfikir lebih jauh, saat ucapan semacam sarjana koh nganggur, kuliah apa bangun candi? Masa ndak wisuda-wisuda, pacaran apa kredit mobil masa ndak nikah-nikah, astaga 5 tahun menikah belum punya anak makanya bikinnya yang rajin dong, terkadang memberikan efek psikologis yang lebih dalam pada mereka.
Kita selalu melihat orang lain hanya dari tampak luarnya saja, kita tak pernah paham permasalahan dan kondisi semacam apa yang sedang dialami mereka.
Kita tak pernah tahu barangkali si A belum juga bekerja karena harus merawat orang tuanya yang sakit parah di rumah, atau si B yang belum juga wisuda karena skripsinya harus ditinggal bekerja untuk menyambung hidup di perantauan.
Atau si C yang lama pacaran tapi tak kunjung menikah karena dia ingin terlebih dahulu membahagiakan orang tuanya, atau si D yang sudah lama menikah tapi belum diberi kepercayaan Tuhan untuk diamanahi seorang anak, dia sedang dilanda kepiluan yang hebat karena 2 bulan yang lalu dokter memvonisnya mandul.
Jangan sampai pertanyaan atau lelucon yang kita buat justru menjadi salah satu cikal bakal senjata pembunuh terbaik bagi orang-orang di sekeliling kita. Kasus bullying memang sangat mengerikan, tengok saja data yang disampaikan oleh Menteri Sosial pada tahun 2015 lalu, 40% dari kasus bunuh diri anak di Indonesia disebabkan oleh kasus bully. Belum lagi efek psikologis yang dialami oleh korban juga bisa berakibat jangka panjang.
Depresi, gangguan kecemasan, mengucilkan diri, rasa tidak nyaman saat berada di lingkungannya, konsep diri yang buruk, sering merasa kecewa, terbatas hidupnya, tidak menghargai diri sendiri, menyepelekan orang lain, ketakutan, hingga perasaan ingin bunuh diri adalah contoh dari efek buruk bullying.
Selain menjadi senjata mematikan, terkadang tanpa kita sadari perkataan semacam lulusan sarjana koh kerjanya tidak worth it si? Atau masa kerjaanmu gajinya kecil banget si? Turut menyumbang jumlah angka pengangguran di Indonesia. Bagaimana bisa?
Bayangkan saja ketika ada teman yang mengatakan bahwa pekerjaan kita saat ini harusnya tidak usah lulusan sarjana, lulusan SMA/SMK saja bisa, atau sarjana koh gajinya cuma satu juta, buat biaya hidup bulanan saja tidak cukup. Lalu kita memutuskan untuk keluar dari pekerjaan kita saat itu, mencoba mencari pekerjaan lain yang lebih terlihat mentereng dengan gaji yang tinggi.
Berbulan-bulan kemudian tak kunjung mendapatkan pekerjaan seperti yang diinginkan, dan yah tentu saja status kita saat ini menjadi seorang pengangguran gara-gara terlalu “mendengarkan” perkataan teman yang notabene dia saja tidak memberikan bantuan dan kontribusi apapun dalam hidup kita.
Sampai disini masih lucukah guyonan tentang ketidak beruntungan nasib orang lain? Sudahkah kita berkaca pagi ini? Bahwa di dalam diri kita masih banyak hal-hal ajaib yang patut ditertawakan sendiri. Belajarlah untuk merangkai dan menyusun kalimat yang lebih berfaedah dan lebih enak didengar. Masih banyak pula guyonan-guyonan renyah yang dapat menghangatkan suasan tanpa harus menyinggung perasaan orang lain.
Tidak semua orang memiliki jalan hidup yang mulus, banyak dari mereka yang berdarah-darah saat ini, jatuh bangun namun berusaha tetap tersenyum, mereka ingin berkumpul dengan kita sekadar ingin melepas rindu dan mencari pelipur lara dari ganasnya kehidupan yang mereka alami saat ini, jangan menambah beban pada mereka, jangan menyiramkan air garam pada luka nanar mereka.
Ingat, memberi support dan semangat bukanlah dengan bullying dan mari jadikan agenda semacam reuni, bukber, dan sejenisnya untuk silaturahmi bukan sebagai ajang riya pencapaian hidup karena kita tak pernah tahu akan jadi seperti apa kita di masa depan.
Referensi:
Syah, Moch Harun. 2015. Mensos: Bunuh Diri Anak Indonesia 40 Persen karena Bullying. Dikutip dari: https://www.google.com/amp/s/m.liputan6.com/amp/2361551/mensos-bunuh-diri-anak-indonesia-40-persen-karena-bullying
Tiffany. 2017. 13 Pengaruh Bullying pada Psikologis Anak. Dikutip dari: https://www.google.com/amp/s/dosenpsikologi.com/pengaruh-bullying-pada-psikologi-anak/amp
Ya, begitulah, manusia zaman now, kadang bullying dijadikan sebuah lelucon dan seenaknya ngomong tanpa pikir panjang terlebih dahulu. Lihat apa langsung dijudge, tanpa mengetahui terlebih dahulu seluk beluknya.
ReplyDeleteBener pisan yu, bikin males orang2 kek gini tuh. Hahahaha. Makasih mba eri sudah mampir dan meninggalkan jejak
DeleteAku ikut meninggalkan jejak juga lah...
ReplyDeleteSebagai mantan korban bully. Aku bersyukur bisa lanjut sampai sekarang. Malah sekarang aku ingin memperlihatkan betapa pentingnya berpikir terbuka, supaya anak anak makin ramah.
Tapi kayaknya susah membasmi bullying ini, udah kodrat.
Post a Comment